Philia Erōtikē #2 : Akhir Enam Purnama

Terkadang tuhan punya alasan mengapa kita tak harus lebih dari sekedar berteman.

septiwhyy
4 min readJul 21, 2024
Photo by Gabriel Meinert on Unsplash

Tulisan ini adalah sebuah catatan akhir dan menjadi tulisan kedua yang tertuju padanya. Jika kalian adalah pembaca dari tulisan sebelumnya, bagian ini adalah sebuah kilas balik mencari makna dalam pertemuanku dengannya.

Apabila kalian pembaca baru, sempatkanlah waktu untuk membaca catatan awal betapa sempat bahagianya aku bertemu kembali dengan laki-laki yang kukenal sejak 8 tahun lalu.

Selamat datang, terimakasih telah menyempatkan waktu untuk sekedar penasaran dengan apa yang akan aku ceritakan. Kuharap kamu tak banyak berekspetasi pada apa yang akan tertulis. Sembari menemanimu meraih kata demi kata, kalian boleh memutarkan lagu dari Sheila on 7 yang menyatukan kami perihal musik. Fun fact, ini adalah lagu pertama yang aku tunjukkan pada waktu kami kembali bersua-ria melalui layar handphone.

Ya, kami telah saling mengenal saat duduk di bangku kelas 9 SMP (2015). Bahkan, kami bersatu dalam bagian kelompok pasif berisikan 6 orang. Kenapa disebut pasif? karena kami sekedar aktif dalam grup belajar di sekolah, tidak lebih. Namun, tanpa rasa disengaja aku punya ketertarikan pada salah satunya, yaitu pria yang menjadi tokoh dalam tulisan ini.

Tidak lama kami menjalin hubungan, kami harus dihadapkan dengan LDR. Pernah aku bergumam, kenapa kami tidak dipertemukan sebelum masa studiku habis? ya karena agar aku fokus pada tugas akhir yang setelah sekian bulan bersantai ria. Jika ditambah dengan kisah percintaan, mungkin aku akan mengakhiri S1 ku lebih lama lagi, haha..

Satu bulan..

Dua bulan..

dan beberapa bulan seterusnya…

Kami menghadapi hari-hari seperti biasa, bertukar kabar setiap hari, saling melempar candaan sesekali, dan mengirimkan pap terkini. Bahkan menyempatkan pertemuan sebulan sekali saat jadwal pulang ke rumah. Menghabiskan beberapa jam untuk menambah kenangan manis dan melepas kerinduan. Hingga pada akhirnya,kami sudah tidak berlaku sama.

Komunikasi kami mulai berkurang, banyak harapan-harapan yang ingin sekali dilakukan bersama menjadi sebuah wacana saja. Tepatnya, tidak ada lagi meromantisasi hubungan melalui komunikasi seperti sebelumnya. Aku yang sudah fokus bekerja dan juga dirinya yang semakin hari kerjaan juga dirasa semakin berat saja. Aku tidak terlalu mempermasalahkan hal itu, tapi semakin hari semakin ada yang hilang diantara kami. Berharap bisa menghabiskan waktu bersama. Nyatanya, kami semakin tidak baik-baik saja dan berujung menyudahi apa yang sudah dimulai.

Yah, bisa dikatakan kami menjalani hubungan seumuran. Banyak sulit dan rumitnya, bagiku berhubungan dengan yang seumuran seperti susahnya menghadapi ego diri sendiri. Terlebih usia kami adalah usia yang banyak ambisi yang harus dicapai, hectic bekerja, mengumpulkan dana, membeli sesuatu yang diinginkan, mengutamakan keluarga pergi ke tempat impian, dan termasuk urusan percintaan adalah hal yang tak boleh terlewatkan.

Hubungan kami tidak begitu lama, sangat singkat dibanding waktu saling kenal. Entah kami yang terlalu terburu-buru karena merasa sudah mampu untuk membangun sebuah komitmen atau memang ini cara tuhan memberi kami pelajaran mengapa tidak diberi kelayakan menjalin hubungan dari sekedar berteman.

Pada setiap pertemuan aku selalu mencari makna dan pesan apa yang bisa aku ambil sebagai pelajaran agar aku tak lagi harus terburu-buru menaruh perasaan, yang mungkin saja pada sesuatu yang telah kuinginkan sejak lama. Ia memberikan banyak perasaan-perasaan yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Ya, setiap orang pasti punya nilai tersendiri seberapa menarik dirinya dimata orang lain.

Hal-hal tersebut mungkin bare minimum yang harusnya tidak aku suarakan. Tapi, tidak semua yang aku kenal melakukan itu. Lantas, boleh sajakan aku kagum pada sesuatu yang ada padanya?

Kami jarang bertengkar, tak ada hal berat yang perlu dipermasalahkan. Terkecuali, jarak dan pertemuan. Jarak adalah bentuk keraguan kami sebelum memutuskan untuk berhubungan jarak jauh. Hal itu pula membuat waktu perjumpaan berkurang. Jarak membuat komunikasi kami tak lagi berwarna. Jarak membuat kami menormalisasikan bahwa mengabari adalah hal terberat.

Mungkin ini bukan hal yang dapat dipecahkan pada akhirnya. Mengingat bahwa terkadang kami masih memerlukan waktu untuk diri sendiri dibanding menghabiskan waktu bersama lebih lama. Memang sepertinya tak layak saling mencinta, berteman saja itu sudah sepantasnya.

Kami usai pada enam purnama.

Pria yang ku-damba semasa remaja, memang hanya untuk di-damba. Tidak untuk dimililiki lebih lama.

Seperti dua pohon yang pernah tumbuh berdampingan dan kini terpisah oleh jarak, meskipun tidak lagi berbagi akar, kami masih saling memberikan keteduhan dan akan saling menghormati ruang untuk bertumbuh.

Entah takdir apa yang akan dihadapi, aku tetap yakin bahwa kenangan yang pernah kami ciptakan bersama akan selalu menjadi bagian dari diri kami. Seperti daun yang jatuh namun tidak pernah melupakan rantingnya, kami akan selalu membawa jejak satu sama lain dalam perjalanan hidup masing-masing.

Hope we can find a new ‘home’ that will love us harder than we did.

--

--