Adikku yang Sedang Lepas Dari Kandang
Aku baru saja menyelesaikan urusan kerjaan. Tulisan ini dibuat hanya melalui layar handphone dan bercahaya ditengah gelapnya kamar. Tulisan ini juga aku dedikasikan untuk adikku yang sudah memasuki kepala dua.
Untuk : Farisd Fadillah Ramadhan
Selamat bertambah usia, dek. Aku mencoba menghubungi melalui pesan singkat tapi terlihat ceklis satu hingga sekarang. Sepertinya kamu mengganti nomormu, ya?
Beberapa waktu terakhir aku sudah jarang menghubungi orang tua di rumah ataupun meminta doa untuk melancarkan segala urusanku. Terakhir sepertinya 2 hari yang lalu. Pesan terakhir yang aku dapat adalah dari bapak yang sedang merindukan anak-anaknya di rumah.
Assalamu’alaikum nduk. lagi ngapain, kapan pulang?
Disambut dengan ceritanya yang meng-khawatirkan kamu sebab beberapa hari tidak pulang ke rumah. Bahkan, seperti merasa bersalah kenapa anak-anaknya sangat acuh pada dirinya sebagai kepala keluarga. Ia menyuruhku pulang saat hari ulang tahunmu. Tepat hari ini harusnya aku ada di rumah merencanakan sebuah kejutan yang biasa aku lakukan jika salah satu keluarga sedang bertambah usia. Tapi, entah kenapa aku sudah malas sekali rasanya untuk mengemas barangku dan berangkat ke terminal seperti sebelumnya.
Dek, bapak juga bercerita tentang keadaanmu yang beberapa waktu mengeluh setelah kamu tidak lagi bekerja. Serta ibu yang membantu memaparkan alasan kenapa kamu tidak lagi bekerja.
Ingat tidak, betapa bahagianya kamu memakai seragam di hari pertama bekerja? aku yang membantumu mengurus beberapa berkas, Ibu yang mengusahakan beberapa hal agar kau selamat dalam perjalanan, tak lupa bapak yang menasihati dengan nasihat sakti “jangan seperti bapak ya, le”
Hari ini adalah hari kamu terlahir di dunia. Dua puluh tahun yang lalu, yang hampir saja kamu dilahirkan di angkutan kota saat menuju ke rumah sakit. Tidak terasa badanmu yang semakin hari semakin membesar, pikiranmu yang juga semakin bercabang, pun permasalahanmu yang semakin hari tidak ada habisnya. Menjadi dewasa ternyata tidak enak ya? berjuang mati-matian untuk membahagiakan diri sendiri saja susah sekali rasanya. Teman yang sebelumnya banyak kini terlihat sedikit bahkan tak jarang acuh tak acuh. Sehingga seperti kita harus berjuang pada diri sendiri melawan segala bentuk rintangan dari hari ke hari.
Kita sadar bahwa kita tidak pernah akur sejak kecil. Bahkan aku tidak punya ingatan banyak bagaimana hubungan kita saat dahulu selain bertengkar. Kamu yang kecil sangatlah suka menangis. Berteriak sekencang-kencangnya karena permintaanmu yang tidak dikabulkan oleh Ibu. Begitu pula kamu yang menahan amarahmu saat bapak menasihati.
Ibu juga sempat bertanya-tanya tentang kamu yang sudah tidak pernah ada di kamar. Mengetuk-ngetuk pintu di jam 2 atau 3 pagi untuk dibukakan pintu rumah atau suara sandalmu yang baru saja sampai didepan kamar atau juga suara kamu yang sedang menyalakan kompor untuk memasak mie instan kesukaanmu.
Sebagai seorang kakak, aku juga selalu diperintahkan untuk menasehatimu. Membuka percakapan denganmu sulit sekali rasanya. Mengingat kita tak punya hubungan yang kuat. Tapi, sebenarnya kita saling menyayangi kan, dek? cuma ya gengsi kita saja yang terlalu tinggi.
Maaf, jika kamu melihatku sebagai kakak yang sangat angkuh dan sombong. Maaf, jika aku tak banyak memberimu bantuan saat kamu membutuhkan.
Pesanku, jangan merasa rendah diri karena kita banyak perbedaan. Entah itu kasih sayang, lingkungan pendidikan, pekerjaan, atau apapun itu yang sedang ada di kepalamu. Kita punya track masing-masing dan garis waktu yang berbeda untuk bisa merayakan apa yang bisa kita rayakan.
Semua kegelisahanmu sekarang adalah kegelisahan manusia-manusia yang mulai beranjak dewasa. Terlebih, memasuki usia 20 tahun yang merupakan awal dari segala bentuk kejutan. Entah itu penyesalan, kegagalan, pencapaian, kesedihan, atau bahkan kebahagiaan. Nikmati ya dek, mbak tau rasanya. Semua itu tidak akan melampaui batas kemampuanmu.
Terakhir, bapak berpesan agar kamu lekas kembali ke rumah. Tapi, izinkan aku mengabaikannya. Pesanku berkelanalah hingga benar kamu temukan bentuk kedamaian dan mampu menerima dirimu secara utuh. Nikmati suasana di luar sangkar yang tak akan pernah kamu nikmati untuk kedua kalinya. Ambil banyak hikmah dan pengalaman. Tapi, berdirilah yang kokoh pada hal-hal yang baik dan tidak mencelakakanmu pada akhirnya. Nikmati prosesmu, kelak kamu hanya akan mengingat secara jelas hingga buram bahwa pada akhirnya kamu mampu berproses pada setiap langkah yang kamu ambil.
Ketika aku pulang, kuharap kau juga pulang. Kurencanakan sebuah waktu untuk bisa kita kenang. Mungkin tidak panjang, tapi setidaknya itu mampu membuat kita mampu berpikir bahwa jika suatu saat hanya tersisa kita berdua, semuanya sudah baik-baik saja.